KEBUDAYAAN
TEMANGGUNG
A. SEJARAH SINGKAT
TEMANGGUNG
Sejarah
Temanggung selalu dikaitkan dengan raja Mataram Kuno yang bernama Rakai
Pikatan. Nama Pikatan sendiri dipakai untuk menyebutkan suatu wilayah yang
berada pada sumber mata air di desa Mudal Kecamatan Temanggung. Disini terdapat
peninggalan berupa reruntuhan batu-bebatuan kuno yang diyakini petilasan raja
Rakai Pikatan.
Sejarah
Temanggung mulai tercatat pada Prasasti Wanua Tengah III Tahun 908 Masehi yang
ditemukan penduduk dusun Dunglo Desa Gandulan Kecamatan Kaloran Temanggung pada
bulan November 1983. Prasasti itu menggambarkan bahwa Temanggung semula berupa
wilayah kademangan yang gemah ripah loh jinawi dimana salah satu wilayahnya
yaitu Pikatan. Disini didirikan Bihara agama Hindu oleh adik raja Mataram Kuno
Rahyangta I Hara, sedang rajanya adalah Rahyangta Rimdang (Raja Sanjaya) yang
naik tahta pada tahun 717 M (Prasasti Mantyasih). Oleh pewaris tahta yaitu Rake
Panangkaran yang naik tahta pada tanggal 27 November 746 M, Bihara Pikatan
memperoleh bengkok di Sawah Sima. Jika dikaitkan dengan prasasti Gondosuli ada
gambaran jelas bahwa dari Kecamatan Temanggung memanjang ke barat sampai
kecamatan Bulu dan seterusnya adalah wilayah yang subur dan tenteram (ditandai
tempat Bihara Pikatan).
Pengganti
raja Sanjaya adalah Rakai Panangkaran yang naik tahta pada tanggal 27 November
746 M dan bertahta selama kurang lebih 38 tahun. Dalam legenda Angling Dharma,
keraton diperkirakan berada di daerah Kedu (Desa Bojonegoro). Di desa ini
ditemukan peninggalan berupa reruntuhan. Di wilayah Kedu juga ditemukan desa
Kademangan. Pengganti Rakai Panangkaran adalah Rakai Panunggalan yang naik
tahta pada tanggal 1 april 784 dan berakhir pada tanggal 28 Maret 803.
Rakai Panunggalan bertahta di Panaraban yang
sekarang merupakan wilayah Pa akan. Disini ditemukan juga kademangan dan abu
jenasah di Pakurejo daerah Bulu. Selanjutnya Rakai Panunggalan digantikan oleh
Rakai Warak yang diperkirakan tinggal di Tembarak. Disini ditemukan reruntuhan
di sekitar Masjid Menggoro dan reruntuhan Candi dan juga terdapat Desa
Kademangan. Pengganti Rakai warak adalah Rakai Garung yang bertahta pada
tanggal 24 januari 828 sampai dengan 22 Pebruari 847. Raja ini ahli dalam bangunan
candid an ilmu falak (perbintangan). Dia membuat pranata mangsa yang sampai
sekarang masih digunakan. Karena kepandaiannya sehingga Raja Sriwijaya ingin
menggunakannya untuk membuat candi. Namun Rakai Garung tidak mau walau diancam.
Kemudian Rakai Garung diganti Rakai Pikatan yang bermukim di Temanggung. Disini
ditemukan Prasasti Tlasri dan Wanua Tengah III. Disamping itu banyak reruntuhan
benda kuno seperti Lumpang Joni dan arca-arca yang tersebar di daerah
Temanggung. Disini pun terdapat desa Demangan.
Dari
buku sejarah karangan I Wayan badrika disebutkan bahwa Rakai Pikatan selaku
raja Mataram Kuno berkeinginan menguasai wilayah Jawa Tengah. Namun untuk
merebut kekuasaan dari raja Bala Putra Dewa selaku penguasa kerajaan Syailendra
tidak berani. Maka untuk mencapai maksud tersebut Rakai Pikatan membuat
strategi dengan mengawini Dyah Pramudha Wardani kakak raja Bala Putra Dewa
dengan tujuan untuk memiliki pengaruh kuat di kerajaan Syailendra. Selain itu
Rakai Pikatan juga menghimpun kekuatan yang ada di wilayahnya baik para
prajurit dan senapati serta menghimpun biaya yang berasal dari upeti para
demang. Pada saat itu yang diberi kepercayaan untuk mengumpulkan upeti adalah
Demang Gong yang paling luas wilayahnya. Rakai Pikatan menghimpun bala tentara dan
berangkat ke kerajaan syailendra pada tanggal 27 Mei 855 Masehi untuk melakukan
penyerangan. Dalam penyerangan ini Rakai Pikatan dibantu Kayu Wangi dan
menyerahkan wilayah kerajaan kepada orang kepercayaan yang berpangkat demang.
Dari nama demang dan wilayah kademangan kemudian muncul nama Ndemanggung yang
akhirnya berubah menjadi nama Temanggung. Catatan sejarah Temanggung berasal
dari :
Ø Prasasti Wanua Tengah III, Berkala arkeologi
tahun 1994 halaman 87 bahwa Rakai Pikatan dinyatakan meninggal dunia pada
tanggal 27 Mei 855 M.
Ø
Prasasti Siwagrha terjemahan Casparis (1956 - 288), pada tahun 856 M
Rakai Pikatan mengundurkan diri.
Ø Prasasti Nalanda tahun 860 (Casparis 1956,
289 - 294), Balaputra dewa dikalahkan perang oleh Rakai Pikatan dan Kayu Wangi.
Ø Prasasti Wanua Tengah III, Berkala Aekeologi
Tahun 1994 halaman 89, Rakai Kayu Wangi naik tahta tanggal 27 Mei 855 M.
Ø Dalam buku karangan I Wayan Badrika halaman
154, Pramudya Wardani kawin dengan Rakai Pikatan dan naik tahta tahun 856 M.
Balaputra Dewa dikalahkan oleh Pramudha wardani dibantu Rakai Pikatan (Prasasti
Ratu Boko) tahun 856 M.
Catatan
diatas dapat disimpulkan bahwa Rakai Pikatan mengangkat putranya Kayu Wangi.
Selanjutnya mengundurkan diri dan meninggalkan Mataram untuk kawin dengan Pramudha
Wardani. Dalam peperangan melawan Balaputra Dewa, Rakai Pikatan dibantu
putranya Kayu Wangi.
B.
KEBUDAYAAN
KHAS TEMANGGUNG
Seni
adalah sesuatu yang bersifat universal di belahan dunia ini, entah di negara
manapun selalu memiliki ciri khas tersendiri apabila ditinjau dari segi budaya.
Sedangkan dari segi arkeologis terdapat data etnografi berupa kesenian di
sebuah kalangan masyarakat tertentu, yang dijadikan sebagai salah satu bahan
analogi dalam usaha merekonstruksi kebudayaan seni masyarakat tersebut pada
masa lampau berkaitan dengan konsep kesenian. Tak terkecuali di Kabupaten
Temanggung, Provinsi Jawa Tengah, ternyata juga menyimpan pesona tersendiri
dengan adanya seni cengklungan yang konon adalah budaya asli Temanggung.
1.
Cengklungan
Seni Khas Temanggungan.
Di
tengah hiruk pikuknya ekspansi modernisasi, kesenian tradisional itu masih
mampu bertahan hidup meski dengan segala keterbatasan. Adalah semangat para
senimannya untuk tetap berjuang melestarikan budaya warisan leluhur ini.
Generasi kini tak banyak tahu apakah cengklungan itu. Ini dibuktikan dengan
hanya beberapa orang dari generasi muda Temanggung yang tahu tentang kesenian
tradisional ini.
Seperti
dalam Festival Budaya Temanggung yang digelar dalam rangka memeriahkan hari
jadi ke-175 Kabupaten Temanggung beberapa waktu lalu, kesenian cengklungan
turut serta memeriahkannya. Selain itu grup-grup kesenian lain yang berasal
dari berbagai wilayah di Kabupaten Temanggung tak ketinggalan ikut
berpartisipasi. Kesenian tradisional tersebut antara lain: warokan, kuda
lumping, sorengan, ndayakan, kubro, siteran, petilan wayang, bangilun,
prajuritan, tayub, srandul, wulangsunu, cokekan, barsomah dan lain-lain.
Dari
sekian banyak kesenian tradisional yang ditampilkan, cengklungan ternyata mampu
menyita perhatian para penonton. Kebanyakan dari para penonton cukup antusias
menikmati penampilan para seniman cengklungan yang memang sudah amat jarang
ditemukan keberadaannya. Tak heran jika para penonton langsung bergerak maju
ingin menyaksikan kesenian ini dari dekat begitu nama cengklungan disebut oleh
panitia.
Dalimin
WS, sesepuh sekaligus pelatih seni cengklungan dari Desa Geblok Kecamatan
Kaloran, Kabupaten Temanggung, bersama rekan-rekannya dengan gigih dia mencoba
mengenalkan kembali tradisi yang hampir punah ini. Menurut pria berusia 60
tahun itu asal mula cengklungan memang masih tanda tanya. Dia mengatakan jika
kesenian yang satu ini boleh dikata masih kabur sehingga hingga kini tidak
diketahui secara pasti siapa yang mula-mula memperkenalkan. Namun menurutnya,
pada jaman penjajahan Belanda kesenian itu sudah ada. Bahkan hampir di seluruh
pelosok desa di Temanggung kala itu kesenian cengklungan lazim dimainkan bila
sedang ada acara-acara tertentu seperti perkawinan atau khitanan.
Pak
Dalimin memang sudah menjadi legenda di dalam kesenian Cengklungan ini. Pertama
kali belajar cengklungan pada saat masih berusia 10 tahun dengan dilatih oleh
ayah dan kakeknya, dia menjadikan cengklungan salah satu kesenian yang
diperhitungkan di Temanggung. Semenjak terjun di dunia ini pula beliau tidak
pernah letih mengajarkan cengklungan kepada masyarakat dan warga sekitar tempat
tinggalnya.
Sudah
sekitar 10 tahun ini dia mendirikan Paguyuban Seni Cengklungan di tempat
tinggalnya di desa Geblok, Kaloran, Temanggung. Meskipun jumlah peminatnya
masih sedikit, pria berkacamata ini tetap yakin bila perkembangan cengklungan
akan dapat lebih dikenal oleh masyarakat luas.
Tiap
hari senin dan rabu malam, suara khas cengklungan berkumandang di depan balai
desa Geblog. Para Seniman dari Paguyuban Seni Cengklungan ternyata sedang
melakukan latihan. Mereka memainkan lagu-lagu langgam jawa dan lagu-lagu jaman
sekarang. Tak jarang warga sekitar yang sedang menontonpun ikut bernyanyi dan
larut dalam suasana malam. Latihan seperti ini memang rutin digelar dua kali
tiap minggu. Dengan anggota sekitar 25 orang, paguyuban ini siap tampil bila
ditanggap oleh pihak-pihak yang sedang punya hajat. Contohnya mereka pernah
tampil di acara-acara pengajian, pernikahan, khitanan, dan lain-lain. Bahkan
bapak Bupati Temanggung pun sering mengundang mereka pada saat acara-acara
khusus di Pendopo Kabupaten.
Selanjutnya
masih menurut Pak Min, begitu dia dipanggil, cengklungan sebenarnya bercerita
tentang kehidupan petani. Setiap gerakannya menggambarkan tarian petani dalam
mengolah tanah pertaniannya. Ada gerakan mencangkul, menanam padi, menyiangi
padi, menghalau burung, menuai sampai menumbuk padi.
Sebenarnya
dulu kesenian ini diciptakan dengan tidak sengaja. Yaitu berawal dari
spontanitas para penggembala yang sedang menunggu ternaknya, mereka berkreasi
memodifikasi payung kruduk dengan suket grinting dan bambu, ternyata tingkah
polah mereka mampu mengeluarkan bunyi-bunyi yang harmonis ditambah nyanyian
rakyat.
Uniknya
alat musik pengiring yang bernama cengklung tersebut, berasal dari payung
kruduk (sejenis payung/mantol) yang dulu sering digunakan para penggembala
ternak ketika musim hujan. Payung kruduk yang kini jarang kita temui, ternyata
tersimpan di sebuah museum di Den Haag Belanda. Benda ini terbuat dari bambu,
clumpring, ijuk dengan dawai dari suket (rumput) grinting. Keseluruhan alat
musik pengiring terdiri dari empat payung kruduk dan satu buah seruling bambu.
Cengklung itu sendiri dibagi menjadi beberapa fungsi yakni bass, kendang ketuk,
kenong dan melodi/siter.
Kini
para seniman cengklung itu berupaya untuk lebih memasyarakatkan seni tersebut
baik di Temanggung maupun di luar kota. Tahap regenerasi pada kaum muda pun
terus diupayakan demi kelangsungan hidup kesenian khas Temanggung ini. Namun
demikian mereka kini dengan semangat dan tetap berharap mendapat dukungan dari
Pemkab Temanggung serta masyarakat luas. Mereka juga berkeinginan untuk
memiliki kostum tersendiri khas Cengklungan.
Salah
satu upaya agar kesenian cengklungan ini lebih memasyarakat, Pemerintah Daerah
Kabupaten Temanggung mewajibkan di setiap kegiatan di daerah-daerahnya,
menampilkan atraksi kesenian ini. Kegiatan ini membutuhkan partisipasi
masyarakat pada umumnya dan instansi terkait pada khususnya.
Tujuannya
adalah untuk melestarikan kebudayaan asli Indonesia dan hal yang paling penting
dari itu semua adalah agar kebudayaan asli Nusantara tercinta ini tidak hilang
karena diklaim oleh negara lain. Tentunya sedih hati ini bila hal tersebut
sampai terjadi.Kelak kesenian cengklungan ini dapat bersaing dengan kesenian
tradisional lain di Indonesia. Bukan tidak mungkin cengklungan dapat sejajar
dengan angklung dari Jawa Barat atau Sasando Rote dari Nusa Tenggara Timur yang
lebih dikenal orang bila pemerintah dan pihak-pihak terkait serius untuk
mengembangkan kesenian ini.
2.
Kuda
lumping / Jaran kepang
Kuda
Lumping menjadi satu budaya yang banyak diminati masyarakat Temanggung.
Terbukti dengan adanya kelompok kesenian Kuda Lumping yang berjumlah sekitar
500 kelompok yang tersebar di seluruh wilayah Temanggung. Seni kuda lumping
sendiri pada saat ini sudah mulai muncul kembali di dunia pentas hiburan
rakyat, yang selama ini tertutup oleh ekspansi budaya elektronika yang gencar
dipublikasikan di media elektronik.
Pada
tahun 2009 lalu mulai lagi bermunculan group-group baru kuda lumping dipelbagai
kecamatan di Temanggung. yang mulai mengkombinasikan dari kesenian asli dengan
kesenian modern.Kebudayaan yang satu ini memang sering dikaitkan dengan unsur
"Klenik" atau magis, namun sebagai Pemuda hendaknya kita mengambil
sikap yang positif dimana masih ada orang-orang yang mampu bertahan untuk
melestarikan budaya asli daerah mereka di antara himpitan ekonomi, politik
maupun budaya yang semakin menyingkirkan kesenian ini.
a.
Sejarah
Konon, tari kuda lumping merupakan bentuk
apresiasi dan dukungan rakyat jelata terhadap pasukan berkuda Pangeran
Diponegoro dalam menghadapi penjajah Belanda. Ada pula versi yang menyebutkan,
bahwa tari kuda lumping menggambarkan kisah perjuangan Raden Patah, yang
dibantu oleh Sunan Kalijaga, melawan penjajah Belanda. Versi lain menyebutkan
bahwa, tarian ini mengisahkan tentang latihan perang pasukan Mataram yang
dipimpin Sultan Hamengku Buwono I, Raja Mataram, untuk menghadapi pasukan
Belanda.
Terlepas dari asal usul dan nilai historisnya,
tari kuda lumping merefleksikan semangat heroisme dan aspek kemiliteran sebuah
pasukan berkuda atau kavaleri. Hal ini terlihat dari gerakan-gerakan ritmis,
dinamis, dan agresif, melalui kibasan anyaman bambu, menirukan gerakan layaknya
seekor kuda di tengah peperangan.
Seringkali
dalam pertunjukan tari kuda lumping, juga menampilkan atraksi yang
mempertontonkan kekuatan supranatural berbau magis, seperti atraksi mengunyah
kaca, menyayat lengan dengan golok, membakar diri, berjalan di atas pecahan
kaca, dan lain-lain. Mungkin, atraksi ini merefleksikan kekuatan supranatural
yang pada zaman dahulu berkembang di lingkungan Kerajaan Jawa, dan merupakan
aspek non militer yang dipergunakan untuk melawan pasukan Belanda.
b.
Variasi
Lokal
Di Jawa Timur, seni ini akrab dengan
masyarakat di beberapa daerah, seperti Malang, Nganjuk, Tulungagung, dan
daerah-daerah lainnya. Tari ini biasanya ditampilkan pada event-event tertentu,
seperti menyambut tamu kehormatan, dan sebagai ucapan syukur, atas hajat yang
dikabulkan oleh Yang Maha Kuasa.
Dalam
pementasanya, tidak diperlukan suatu koreografi khusus, serta perlengkapan
peralatan gamelan seperti halnya Karawitan. Gamelan untuk mengiringi tari kuda
lumping cukup sederhana, hanya terdiri dari Kendang, Kenong, Gong, dan
Slompret, yaitu seruling dengan bunyi melengking. Sajak-sajak yang dibawakan
dalam mengiringi tarian, biasanya berisikan himbauan agar manusia senantiasa
melakukan perbuatan baik dan selalu ingat pada Sang Pencipta.
Selain
mengandung unsur hiburan dan religi, kesenian tradisional kuda lumping ini
seringkali juga mengandung unsur ritual. Karena sebelum pagelaran dimulai,
biasanya seorang pawang hujan akan melakukan ritual, untuk mempertahankan cuaca
agar tetap cerah mengingat pertunjukan biasanya dilakukan di lapangan terbuka.
Ada
3 fragmen tarian kuda lumping, yaitu :
a.
Tari Buto Lawas;
Pada
fragmen Buto Lawas, biasanya ditarikan oleh para pria saja dan terdiri dari 4
sampai 6 orang penari. Beberapa penari muda menunggangi kuda anyaman bambu dan
menari mengikuti alunan musik. Pada bagian inilah, para penari Buto Lawas dapat
mengalami kesurupan atau kerasukan roh halus. Para penonton pun tidak luput
dari fenomena kerasukan ini. Banyak warga sekitar yang menyaksikan pagelaran
menjadi kesurupan dan ikut menari bersama para penari. Dalam keadaan tidak
sadar, mereka terus menari dengan gerakan enerjik dan terlihat kompak dengan
para penari lainnya. Untuk memulihkan kesadaran para penari dan penonton yang
kerasukan, dalam setiap pagelaran selalu hadir para datuk, yaitu orang yang
memiliki kemampuan supranatural yang kehadirannya dapat dikenali melalui baju
serba hitam yang dikenakannya. Para datuk ini akan memberikan penawar hingga
kesadaran para penari maupun penonton kembali pulih.
b.
Tari
Senterewe
Pada fragmen
selanjutnya, penari pria dan wanita bergabung membawakan tari senterewe.
c.
Tari
Begon Putri
Pada
fragmen terakhir, dengan gerakan-gerakan yang lebih santai, enam orang wanita
membawakan tari Begon Putri, yang merupakan tarian penutup dari seluruh
rangkaian atraksi tari kuda lumping.
3.
Warokan
Warokan
juga salah satu perserta festival seni yang diadakan hampir setiap tahunnya.
Warokan tidak hanya dilakukan oleh laki-laki dewasa, tapi juga anak-anak.
Kostum yang digunakan adalah kain batik atau biasa disebut Jarit dan dan
membawa peralatan menari seperti cemeti. Pemain Warok dirias sedemikian rupa
sehingga mencerminkan kegarangan sebagai prajurit garis depan.Tariannya juga
menggambarkan seorang yang gagah perkasa, berwatak pantang menyerah.
4.
Kobra
Siswo
Kesenian
yang satu ini,konon merupakan representasi dari olah raga. Kesenian ini berarti
mengajak masyarakat untuk gemar berolah raga, menjaga kondisi tubuh agar tetap
sehat dan bugar. Cukup masuk akal memang, karena kesenian ini berbeda dari yang
lainnya. Gerakannya cepat dan energik. Namun, meskipun demikian tetap ada
tatanan tarian yang harus diikuti dan harus seragam antara pemain satu dengan
pemain yang lainnya.
5.
Dayakan
Dayakan
merupakan pengembangan dari tarian Kubro Siswo. Perbedaannya adalah pada
kostum. Kubro Siswo hanya menggunakan celana kolor dan rompi saja, sedangkan
dayakan menggunakan kostum berupa pakaian setengah Dayak dan setengah Indian,
yaitu terdapat bulu-bulu di bagian topi. Menggunakan kaos ketat dan dilengkapi
dengan Rencong. Gerakannya tidak kalah energik dengan Kubro Siswo.
6.
Pengantin
Khas Temanggung
Busana
khas Temanggung digali, diciptakan dan dikembangkan agar nantinya menjadi
busana yang dimiliki dan dipakai oleh masyarakat Temanggung sendiri dengan rasa
bangga pada setiap saat yang tepat sesuai dengan norma dan kententuan yang ada,
sehingga jika daerah lain melihat akan menilai bahwa busana yang dipakai orang
Temanggung menunjukan identitas bahwa orang tersebut adalah orang Temanggung
karena busana khasnya.
7.
Tradisi
Sadranan
Sadranan
di desa jetis Kecamatan Selopampang Kabupaten Temanggung yang dilaksanakan Jumat (7/8) berlangsung
meriah, diikuti ratusan warga. Upacara ritual sadranan yang rutin
diselenggarakan setahun sekali pada
setiap hari Jum’at Pahing bulan Ruwah
itu, ditandai dengan pesta nasi tenong dan ingkung ayam yang jumlahnya mencapai
500 buah. Sesepuh Desa Jetis Mukidi yang juga menjabat Kepala Urusan
Kesejahteraan Rakyat (Kaur Kesra)
menjelaskan, tradisi sadranan
sudah berlangsung turun temurun sejak dulu kala. Sadranan
diselenggarakan sebagai ungkapan rasya
syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkah, rejeki dan keselamatan yang telah
diberikan selama ini, sehingga warga desa bisa hidup tentram dan sejahtera. Selain itu juga dimaksudkan untuk mengenang arwah para
leluhur desa yang semasa hidupnya telah berjasa
merintis keberadaan desa.
Tradisi
sadranan ini dimaksudkan sebagai ungkapan syukur atas limpahan rejeki dari Tuhan Yang Maha Esa, sekligus
untuk mengenang Nyi Nondo yang diyakini sebagai
leluhur perintis desa“ ujarnya seraya menambahkan, tradisi sadaranan
diawali dengan pembacaan Tahlilan di
komplek makam.
Menurutnya,
peserta sadranan tidak hanya diikuti warga Desa Jetis saja namun juga diikuti
sejumlah warga luar desa yang mempunyai leluhur di Jetis. Mereka sambil membawa nasi bucu tenong, ingkung ayam
dan aneka jajanan berdatangan di komplek
makam desa yang dijadikan tempat ritual Sadranan. Seluruh peserta dengan penuh khidmat duduk berjajar mengikuti seluruh prosesi ritual
yang ditandai berdoa bersama, dipimpin
ulama desa. Seusai doa untuk memohon
keselamatan dan limpahan rejeki dari yang maha kuasa, makanan yang mereka bawa kemudian dinikmati
sebagai ungkapan syukur. Sementara itu sembari
menikmati makanan, beberapa
petugas mengambil potongan nasi bucu
berikut sebagian lauk pauk dan jajanan untuk dikumpulkan . Hasil makanan yang
dikumpulkan, setelah dikemas dalam
ratusan kantong plastik, kemudian dibagikan kepada seluruh peserta dan
tamu undangan sebagai nasi berkat untuk
dibawa pulang.
C.
KESENIAN
PARAKAN, TEMANGGUNG
a.
Sejarah
Berdasarkan
catatan sejarah Nugroho Notosusanto, daerah Parakan ini adalah merupakan sima
atau semacam tanah hibah pada masa Mataram Kuno. Beberapa peninggalan berupa
prasasti dan candi bisa ditemui di sekitar wilayah Parakan, di antaranya Candi
Gondosuli yang berada di sebelah tenggara Parakan.
Pada
zaman penjajahan dulu daerah ini terkenal dengan senjata bambu runcing. Salah
satu tokoh penggerak para pejuang pada masa perang kemerdekaan adalah K.H.
Subchi (nama aslinya Subuki) yang dijuluki "Jenderal Bambu Runcing"
(sekarang namanya diabadikan menjadi nama sebuah jalan di kampung Kauman
Parakan), sedangkan tokoh-tokoh yang lain diantaranya K.H. Nawawi (dengan nama
kecil: Islam), K.H.R. Sumo Gunardo, K.H. M Ali ((pengasuh pesantren tertua di
Parakan), K.H. Abdurrahman, Sahid Baidzowi, Ahmad Suwardi, Istachori Syam'ani
Al-Khafidz dan masih banyak lagi yang lain. Parakan juga merupakan tempat lahir
tokoh perjuangan nasional Mohamad Roem, yang terkenal sebagai delegasi
Indonesia dalam perundingan diplomasi Roem-Roijen.
Dikatakan
Parakan karena bersemayam kyai yang
disebut parak atau perek. Kyai Parak pertama berasal dari Yaman dan yang kedua
dari pelarian Mataram ketika Amangkurat II memerintah dan dalam struktur
pemerintahan zaman Belanda tidak pernah tercantum kelurahan Parakan melankan
Jetis, Klewogan dan sebagainya namun dalam susunan berikutnya menjadi daerah
kawedanan masih banyak yang harus diungkap tentang parakan termasuk perhatian
pemerintah hindia belanda dengan parakan karena banyak pelarian tentara
diponegoro yang mengungsi di Parakan sehingga Belanda sengaja menjadikan
Parakan sebagai pusat candu agar generasi mudanya rusak dan sulit untuk
bergolak menentang Belanda.
Parakan
pernah menjadi pusat pemerintahan Kabupaten menoreh dengan bupati terakhir KRT.
Sumodilogo yang membuat heboh dan meninggal dibunuh oleh tentara Diponegoro
dimakamkan di Kalam Jolopo Krasak sedang kepalanya di Selarong, Yogyakarta.
Menurut catatan ada beberapa ulama pengikut Pangeran Diponegoro yang bermukim
di Temanggung al. Kyai Shuhada.
b.
Tempat
Bersejarah Terdekat
1.
Kreteg
Kali Galeh, Jembatan Sungai (Kali) Galeh lama masih digunakan sebagai
penyeberangan pejalan kaki. Pada masa penjajahan Belanda, jembatan tsb pernah
dibumihanguskan para Pejuang untuk menghalau penjajah masuk Kota.
2.
Masjid
Al Barakah Monumen Bambu Runcing, Kauman Parakan merupakan Markas perjuangan
pada masa penjajahan Belanda. Sudah beberapa kali Masjid bersejarah ini
dipugar.
3.
Monumen
Stasiun Sepur, Parakan Wetan. Pada masa perjuangan kemerdekaan, stasiun ini
digunakan sebagai terminal pengangkutan para pejuang (terutama dari Jawa Timur)
yang akan menyepuh (memberikan kekuatan spiritual) Bambu Runcing kepada para
Kyai di Parakan.
4.
Pasar
Legi, Jetis Kauman.
5.
Pasar
Entho, Parakan Wetan.
6.
Pemandian
Traji.
7.
Pondok
Pesantren Kyai Parak, Kauman Parakan.
c.
Acara/
Peristiwa Menarik
1.
Padusan,
acara mandi/ pembersihan badan bersama, dilakukan di sungai/ kolam, sehari
sebelum Romadhon
2.
Parade
Kesenian Tradisional Islam, setiap 1 Muharram/ Sura dipusatkan di Masjid Al
Barakah Monumen Bambu Runcing.
3.
Pawai
Oncor, Parade Obor disertai Takbir setiap malam lebaran (1 Syawal).
4.
Sura,
Mantenan Pak Lurah/ bu Lurah, setiap 1 Muharram/ Sura dipusatkan di Pemandian
Traji
5.
Nyadran,
acara pembersihan di setiap Kuburan Islam, beberapa hari sebelum Romadhon,
setelah selesai dilanjutkan dengan makan bersama, biasanya makan Sego Gono. Di
beberapa desa di lereng Gunung Sumbing, Nyadran tsb dilakukan dengan memberi
makan nasi lengkap beserta lauk pauk kepada saudara/ famili/ orang yang
dihormati.
d.
Kesenian
tradisional
1.
Kubro
(Kubrosiswo): Tarian dengan memakai seragam & topeng, diikuti dengan alat
musik pukul. dimainkan juga oleh anak anak.
2.
Jaran
Kepang (Kuda Lumping): Tarian dengan menggunakan tunggangan kuda yang terbuat
dari bambu dan dihias meriah.
3.
Ndibak:
Lantunan puji-pujian Islami dalam bahasa Arab, yang dinyanyikan bersama-sama
yaitu dengan membacakan sebagian kitab Barjanji.
4.
Kadaro:
lantunan puji-pujian terhadap rosul diiringi tiga buah terbang besar yang ampai
sekarang masih eksis tiap malam jumah pahing berlatih di musholla wakfiyah
(bani israel) karang tenagah parakan kauman.
5.
Zanzanen/
Barjanjen (selawatan jowo)lantunan pijian kepada nabi saw dengan musik perkusi
tradisioal kelompok ini ada di kampung jogomertan dll .
maaf kak, itu sumbernya dari mana ya kalau boleh tahu? terimakasih
BalasHapus